Senin, 23 Maret 2015

ANAK BERMASALAH ?

Setiap orangtua pasti berharap agar anak-anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Betapa bahagianya apabila anaknya ketika masih bayi tidak rewel, mudah beradaptasi ketika diajak berkunjung ke rumah saudara atau kenalan, apabila disapa keluarga tersenyum atau bahkan langsung tertawa, tidak susah makan, atau tidak buang air besar dan kecil (termasuk mengompol) sembarang waktu dan tempat.
Alangkah bahagianya para orangtua apabila anak-anaknya yang sudah menginjak usia sekolah dapat bersekolah dengan baik, bisa bangun pagi-pagi, tidak bermasalah dengan teman-temannya, rajin belajar, tidak suka berbohong, sopan, suka menolong, patuh kepada orangtua dan guru, apalagi rajin pula beribadah.



Namun, apabila anak tumbuh dan berkembang tidak sesuai dengan yang diharapkan, misalnya, susah makan, rewel, mudah memberontak, atau kalau sang anak sudah mulai besar ia suka berbohong, mencuri, nakal kepada teman, atau malas belajar, tidak jarang orangtua kebingungan bagaimana cara mengatasinya.
Ketika sekali atau dua kali orangtua menasihati anaknya dan anaknya tetap tidak berubah, tak sedikit pula orangtua yang justru memarahi anaknya, memberikan hukuman, atau bahkan memukul sang anak. Ketika keadaan sudah begini, tidak banyak dari orangtua yang bisa berpikir dengan tenang untuk mencari jawab mengapa anaknya menjadi bermasalah.

Anak bermasalah yang dimaksudkan di sini adalah anak yang mempunyai perilaku tidak sesuai dengan keinginan atau harapan orangtua yang berkesesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh orangtua, keluarga, atau bahkan lingkungan.

Di dalam menangani anak bermasalah apakah dibenarkan melalui cara, misalnya, memarahi anak, mengurung anak, atau bahkan memukulinya?

Sudah tentu, cara-cara tersebut tidak dapat dibenarkan, di samping termasuk “kejahatan terhadap anak”, cara tersebut juga tidak efektif untuk mengubah perilaku anak bermasalah menjadi baik. Jika memang berubah menjadi baik, perubahan yang terjadi akan menyimpan kesan buruk dalam diri anak, atau perubahan itu tidak berlangsung lama karena tidak berangkat dari sebuah kesadaran.

Sekadar Dua Contoh

Ada seorang anak yang suka mengambil uang orangtuanya secara diam-diam (mencuri) untuk tambahan jajannya atau untuk bermain game online di warnet (warung internet) dekat rumah.

Pada saat orangtuanya mengetahui bahwa yang mencuri uangnya adalah anaknya sendiri, maka sang orangtua memarahi habis-habisan sang anak, bahkan memukulnya. Untuk beberapa waktu sang anak memang jera dan tidak mau mencuri lagi karena takut kepada orangtuanya.

Namun, apakah perilaku bermasalah anaknya selesai begitu saja? Ternyata, sang anak beralih untuk mengambil uang temannya. Hal ini bisa terjadi barangkali sang anak berpikir jika mengambil uang temannya lebih aman karena temannya tidak segalak orangtuanya ketika marah.

Ada pula seorang anak yang mempunyai kebiasaan makan banyak. Orangtuanya memarahinya dengan sangat karena sang orangtua tidak menginginkan anaknya semakin bertambah berat badannya. Sang anak memang telah mengalami berat badan yang berlebih alias kegemukan.

Di depan orangtua, sang anak memang makan secara normal sebagaimana kebiasaan keluarga, yakni sehari makan sebanyak tiga kali. Namun, ketika orangtuanya tidak di rumah atau ketika orangtuanya sedang tidak melihatnya, sang anak mencuri-curi makanan (di rumahnya sendiri) dengan memakanya secara cepat sebagaimana orang yang sudah tiga hari tidak makan. Hal ini dilakukan sang anak agar dapat menyelesaikan makan sesegera mungkin dan tidak ketahuan orangtuanya.

Dari dua contoh di atas, cara yang dilakukan orangtua dalam mengatasi anaknya yang bermasalah ternyata tidak efektif. Sang anak memang menuruti apa yang menjadi harapan orangtuanya, akan tetapi tidak berangkat dari kesadarannya. Sang anak berubah karena takut kepada orangtuanya yang memarahinya, membentaknya, atau bahkan memukulnya.

Menurut sebagian pemahaman para orangtua kita di zaman dahulu, cara seperti ini adalah cara yang paling efektif, katanya. Tetapi, satu hal yang harus diakui, cara seperti ini akan meninggalkan kesan yang menakutkan pada diri sang anak. Bila sudah begini, ada hal yang terkebiri pada diri sang anak, baik itu potensi, kemerdekaan, atau bahkan sang anak malah belajar kekerasan dan kehilangan rasa kasih sayang dalam dirinya.

Lalu, bagaimana cara mengatasi anak yang bermasalah secara efektif? Tentu setiap orangtua harus terus belajar dalam hal ini. Banyak membaca adalah hal yang mesti dilakukan. Bisa juga berbagi dengan sesama orangtua yang menghadapi masalah anak yang sama. Insya Alloh di edisi berikutnya akan kami posting contoh-contoh cara menangani permasalahan anak-anak.

Semoga bermanfaat

Selasa, 17 Maret 2015

KENAPA HARUS AQIQAH ?

Di salah satu hadist Rosullulloh menyebutkan :
"Apabila manusia telah meninggal dunia maka terputuslah semua amalannya kecuali tiga amalan : shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shalih yang mendoakan dia.” [HR. Muslim].
menunjukkan atas agungnya keutamaan ilmu dan pahala mengajarkan ilmu, baik lewat kajian maupun tulisan. Karena hal tersebut akan mmbuahkan pahala yang besar untuk manusia baik dimasa hidupnya maupun setelah kematiannya. Amalannya tidak akan terputus meskipun dia sudah meninggal dunia, bahkan pahala dan ganjaran dari Allah ta’ala senantiasa mengalir kepadanya selama ilmu yang dia ajarkan dimanfaatkan oleh manusia. Ini merupakan perkara kedua yang Allah catat dan tetapkan untuk manusia.
Trus apa hubungannya dengan aqiqoh ?
Di hadist yg lain menyebutkan :

Aqiqah dilakukan oleh Rasulullah saw. dan para sahabat. Rasulullah saw. bersabda:
 كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّيكُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تَذْ بَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّى 
“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” [HR Abu awud, no. 2838, at-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165 dll dari sahabat Samurah bin Jundub r.a.. Hadits ini dishahihkan oleh al-Hakim dan disetujui oleh adz-Dzahabi, Syaikh al-Albani dan Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam kitab al-Insyirah Fi Adabin Nikah hlm. 97] .

Jadi berdasarkan dari dua hadist di atas maka bisa kita simpulkan bahwa untuk mendapatkan manfaat dari anak yg sholeh maka sunnah muakad aqiqoh harus kita laksanakan. Kenapa ? karena walaupun nantinya anak kita menjadi seorang anak yg sholeh dan sholehah,kita tidak bisa mendapatkan manfaatnya karena masih di gadai oleh sembelihan hewan aqiqoh.
Misalnya : kita punya emas batangan 50 gram,kemudian kita gadaikan emas tersebut ke pegadaian. Ketika kita butuh uang lebih banyak dan mau menjual emas tadi, ternyata tidak bisa. Kenapa ? karena walaupun emas tadi adalah milik kita,tapi pihak pegadaian tidak akan mengijinkan kita untuk menjualnya sebelum emas itu kita tebus. Setelah kita tebus dari pegadaian baru kita bisa menjual emas tersebut.
Jadi ketika kita sudah melaksanakan aqiqoh utk anak kita ,insyallah manfaat dari anak-anak yg sholeh tadi dapat kita nikmati nanti ketika kita sudah kembali kepada Alloh SWT.Insya Alloh.....
Kalau belum di aqiqoh ,bisa jadi itu salah satu sebab kenapa anak-anak kita tidak mau mendengar nasehat-nasehat kita. Padahal kita sudah setiap hari berdoa kepada Alloh supaya anak-anak kita bisa menjadi anak yg sholeh dan sholehah, Kenapa ? karena doa-doa tadi masih ada dinding penghalang (hijab) yaitu Aqiqoh.(anak kita masih digadai ). 
Semoga bermanfaat....

Wallohu a'lam bisshawab.

Jumat, 13 Maret 2015

KENAPA ANAKKU NAKAL ?

Pertanyaan sering sekali kita dengar dari para orangtua. Dan menurut para pakar psikologi anak, sebenarnya anak-anak nakal itu sudah lumrah,karena kenakalan mereka itu adalah bukti keingintahuan mereka akan kehidupan dunia ini. Ketika di tanya seperti itu, ada seorang ustad yg mengatakan bahwa ada beberapa hal yg bisa membuat anak melakukan "kenakalan ",yaitu :
1.Apakah anak tersebut sudah di Aqiqoh ?
2.Apakah ada terselip barang haram yg ada di dalam makanannya ?
3.Apakah Orang tua sudah memberi contoh yg baik ? (sikap dan kata-kata)
4.Apakah lingkungannya termasuk yg baik atau buruk ? (sekolah dan rumah)
5.dll

Kita akan bahas tersebut di atas satu per satu :

Anak Suka Meniru Perilaku Buruk, Bagaimana Mengatasinya?

Ada seorang ibu yang kesal sekali kepada tetangga barunya. Pada sore hari, sepulang suaminya dari bekerja, ia menumpahkan kekesalannya di hadapan sang suami tercinta. Ia kesal karena tetangga barunya tidak mendidik anak-anaknya dengan baik, demikian menurut seorang ibu yang kesal tersebut.

Betapa tidak, anak tetangga baru tersebut yang berusia dua tahun suka mendorong-dorong teman bermainnya, dibiarkan begitu saja oleh ibunya; anaknya juga suka bermain ludah, bahkan meludahi temannya, namun ibu dari anak tersebut juga cuek saja. Tampak sekali ia merasa bahwa anaknya tak melakukan kesalahan atau ketidakbaikan yang perlu dibenahi.

Sang ibu tersebut semakin kesal karena ternyata anaknya yang juga berusia dua tahun meniru perilaku buruk anak sang tetangga tersebut. Anaknya yang sebelumnya tidak pernah mendorong-dorong teman sepermainannya, menjadi suka mendorong-dorong, bahkan anaknya menjadi suka bermain ludah dan ikut-ikutan meludahi temannya. Sungguh, perilaku buruk dari anak tetangga tersebut telah ditiru sepenuhnya oleh anaknya. Terutama suka meludah sembarang tempat, bermain ludah, atau bahkan meludahi temannya, perilaku buruk ini sama sekali tidak pernah terbayangkan oleh seorang ibu yang kesal tersebut akan dilakukan anaknya. Betapa sangat menjijikkan, katanya.

Demikianlah kekesalan seorang ibu karena anaknya telah meniru perilaku buruk anak tetangganya. Kejadian seperti ini bukanlah sebuah kejadian yang langka. Bisa jadi di antara pembaca ada yang anaknya mengalami kejadian sebagaimana tersebut. Hal ini bisa terjadi karena sifat anak pada dasarnya adalah suka meniru atau melakukan imitasi. Anak adalah pribadi peniru yang terbaik. Dia akan meniru apa saja yang dilihatnya untuk dilakukan, terutama sesuatu yang baru baginya.

Berdasarkan kenyataan ini, setiap orangtua dapat memanfaatkan kemampuanistimewa dari anak-anaknya yang suka meniru untuk mencontohkan perilaku yang baik. Jangan sampai orangtua justru mencontohkan perilaku yang tidak baik. Hal ini sering tidak disadari oleh sebagian orangtua. Misalnya, orangtua menyuruh anaknya untuk belajar, namun orangtua malah menonton televisi di ruang tengah; atau orangtua menyuruh anaknya untuk berangkat ke masjid, tapi orangtua malah asyik membaca koran di ruang tamu. Sungguh, ini contoh tidak baik bagi sang anak.

Semestinya ketika orangtua menyuruh belajar kepada sang anak, orangtua ikut menemani belajar atau setidaknya membuat suasana belajar nyaman dengan tidak menonton televisi. Demikian pula ketika orangtua mengharapkan anaknya rajin ke masjid semestinya orangtua mencontohkan dengan mengajak anaknya untuk bersama-sama pergi ke masjid.


Cara Mengatasi

Kembali kepada persoalan si ibu yang kesal karena anaknya meniru perilaku buruk dari anak tetangganya. Kasus seperti ini pun mungkin terjadi pada anak kita. Bagaimana cara mengatasinya? Pada saat kejadian, sudah tentu hal penting yang harus ditunjukkan kepada anak kita adalah ekspresi ketidaksetujuan dari kita terhadap perilaku buruk tersebut.

Ekspresi ketidaksetujuan ini penting agar anak kita mengetahui bahwa perbuatan yang sedang dilakukannya tersebut tidak baik. Untuk menghargai orangtua dari anak yang ditiru anak kita—yang barangkali mempunyai cara mendidik yang berbeda dengan kita—maka kita perlu mengeskpresikan ketidaksetujuan dengan cara yang wajar saja. Namun, apabila anak kita meniru perilaku buruk tersebut tidak hanya sekali, tetapi diulang-ulang pada kejadian tersebut, segera kita peluk anak kita untuk kemudian menjauh dari permainan tersebut.

Hal penting selanjutnya yang mesti kita lakukan adalah menyampaikan kepada anak kita dengan bahasa yang lembut bahwa perbuatan buruk tersebut tidak boleh dilakukan lagi.

“Adik..., besok tidak boleh mendorong-dorong temannya lagi. Kasihan kan dia didorong-dorong begitu. Apalagi meludahi teman. Apakah Adik mau didorong-dorong atau diludahi?”

Meskipun masih berusia dua tahun, anak sudah bisa diajak berkomunikasi sebagaimana di atas. Biasanya anak kita akan menjawab tidak mau atau menggelengkan kepala karena sifat dasar manusia adalah tidak mau bila disakiti atau dirugikan. Satu hal yang harus diingat bahwa dalam menyampaikan ini hendaknya tanpa dibarengi dengan rasa marah atau ancaman. Biarlah transfer nilai berjalan dengan baik sehingga masuk dalam kesadaran anak kita.

Dalam kesempatan transfer nilai, bisa juga disandarkan kepada Tuhan. Misalnya, “Adik ingin disayang Tuhan tidak? Kalau ingin disayang Tuhan, tidak boleh berbuat begitu lagi ya... karena Tuhan tidak suka kalau kita menyakiti teman kita.”

Ada kalanya seorang anak yang diperingatkan sekali saja sudah cukup. Namun, ada yang perlu berkali-kali. Di sinilah dibutuhkan kesabaran orangtua dalam mendampingi tumbuh dan berkembang anak-anaknya.

Demikianlah dan semoga bermanfaat bagi kita bersama.
Bersambung..........

Rabu, 11 Maret 2015

AQIQAH UNTUK ORANG LAIN ?

Mengaqiqahkan Orang Lain.

Diperbolehkannya selain wali anak, untuk dapat mengurusi sembelihan hewan aqiqah dan tidak ada larangan dalam hal itu. Dalilnya adalah perkataan "Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam" dari hadits Samurah Radhiyallahu ‘anhu.
Berkata Al-Allamah Asy-Syaukani dalam Nailul Authar (5/133) : “Ucapan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “disembelih untuknya” ada dalil di dalamnya bahwa boleh bagi orang lain untuk mengurusi penyembelihan hewan aqiqah tersebut, sebagaimana bolehnya kerabat mengurusi kerabatnya dan seseorang mengurusi dirinya”.

Dalil diperbolehkannya adalah hadits dari Ibnu Abbas tentang Rasulullah saw. Yang mengaqiqahkan Hasan dan Husain.
Jika seseorang ingin mengaqiqahi orang lain (termasuk anak yatim), maka hukumnya boleh, dan sunnah bagi anak yang masih belum baligh .


SIAPA YANG BERTANGGUNG JAWAB DALAM AQIQAH ?
Pertama :
Kalangan Hambali dan Maliki, berpendapat bahwa yang bertanggungjawab atas syariat aqiqah sesuai dengan khitab hadits yang telah disebutkan diatas, yaitu orang tua laki – laki, sang ayah. Dikuatkan kembali oleh pendapat imam Ahmad ketika ditanya mengenai seseorang yang belum diaqiqahkan oleh ayahnya bagaimana hukumnya, beliau menjawab : kewajiban itu atas ayahnya.
 
Kedua :
Jika si anak memiliki harta dan mampu melakukannya sendiri, maka dia yang bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Akan tetapi jika tidak mampu dan masih memiliki ayah, maka ayahnya yang tanggungjawab. Sementara jika ia tidak mampu dan tidak lagi memiliki ayah, maka kewajibannya bagi sang ibu. Sebagaimana pendapat Ibnu Hazm adhzahiri.
Ketiga :
Yang berhak mengaqiqahkan anak, adalah mereka yang bertanggungjawab dalam memberi nafkah atas kehidupan sehari – harinya ( wali ). Tidak mesti orang tua. Seperti yang dilakukan oleh Rasulullah saw, yang mengaqiqahkan cucu beliau Hasan dan Husein. Karena menurut beberapa pendapat bahwa Ali kala itu sedang dalam keadaan terhimpit. Ada yang mengatakan bahwa Ali sebelumnya memberikan hewan aqiqah kepada Rasul untuk kedua puteranya. Yang jelas, ini merupakan pendapat Imam Syafi’i, bahwa kewajiban aqiqah atas anak, kembali kepada orang yang memelihara dan memberi nafkah padanya.
Keempat :
Yang bertanggungjawab atas aqiqah seorang anak, bukan ayah, bukan ibu dan bukan orang yang memberi nafkah hidupnya. Melainkan tidak ada orang yang tertentu yang diberikan kewajiban khusus untuk melaksanakan aqiqah. Sebagaimana di hadits – hadits yang telah disebutkan tidak ada “ qayid “ yang jelas bahwa kewajibannya khusus sang ayah, ibu, ataupun wali. Oleh karena itu sah – sah saja jika yang melaksanakannya orang lain selain mereka, seperti paman, sanak saudara atau bahkan orang asing sekalipun. Ini pendapat imam Ibnu Hajar dan Syaukani.

          Dari berbagai macam pendapat diatas, kita dapat menarik kesimpulan tidak ada pendapat yang sepakat ditentukan oleh ulama mengenai siapa yang bertanggungjawab dalam hal mengaqiqahkan sang anak. Maka menurut kami, yang berhak pertama kali adalah sang ayah, kemudian wali atau orang yang mengasuhnya, kemudian jika ada dari sanak saudaranya yang ingin mengaqiqahkannya maka itu juga diperbolehkan.


Selasa, 03 Maret 2015

HIKMAH AQIQAH

Hikmah atau Pmakna dan manfaat Aqiqah :

Di antara hikmah diselenggarakannya aqiqah, menurut Syaikh Abdullah Nashih Ulwan dalam kitab Tarbiyat al-Aulad fi al-Islam adalah :
Pertama, menghidupkan sunnah Nabi Muhammad Saw. dalam meneladani Nabi Ibrahim a.s. tatkala Allah Swt. menebus putra Ibrahim yang tercinta, yakni Ismail a.s. Dalam hal ini, juga bisa bermakna pengorbanan yang akan mendekatkan diri anak kepada Allah Swt. di awal kehidupannya.

Kedua, dalam aqiqah mengandung unsur perlindungan dari setan yang dapat mengganggu anak yang terlahir, dan ini sesuai dengan makna hadits, “Setiap anak itu tergadai dengan aqiqahnya.” Sehingga, anak yang telah ditunaikan aqiqahnya insyâ Allâh lebih terlindung dari gangguan setan yang sering mengganggu anak-anak. Hal ini sesuai dengan pendapat Ibnu al-Qayyim, “Bahwa lepasnya anak dari gangguan setan tergadai oleh aqiqahnya.” Dalam arti yang lebih luas bisa bermakna aqiqah merupakan tebusan bagi sang anak dari berbagai musibah. Dengan demikian, semoga ia senantiasa dalam keselamatan.

Ketiga, aqiqah merupakan tebusan utang anak untuk memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya kelak pada hari perhitungan. Mengenai hal ini, juga sesuai dengan pendapat Imam Ahmad yang mengatakan, “Dia tergadai dari memberikan syafaat bagi kedua orang tuanya (dengan aqiqahnya).” Hal yang demikian memang sangat penting, apalagi bila dihubungkan dengan hadits Nabi Saw. bahwa semua amal akan terputus jika bani Adam meninggal dunia, kecuali tiga hal yang salah satunya adalah doa dari anak shalih yang mendoakan orangtuanya.

Keempat, merupakan bentuk taqarrub (pendekatan diri) kepada Allah Swt. sekaligus sebagai wujud rasa syukur atas karunia yang dianugerahkan Allah Swt. karena lahirnya sang anak. Tiada maksud lain dalam melaksanakan aqiqah ini, misalnya supaya dipandang oleh orang lain, ingin mendapatkan pujian, dan sebagainya, kecuali hanya ikhlas untuk mendekatkan diri kepada-Nya dengan penuh rasa syukur karena telah dikaruniai anak.

Kelima, aqiqah sebagai sarana menampakkan rasa gembira dalam melaksanakan syariat Islam dan bertambahnya keturunan Mukmin yang akan memperbanyak umat Rasulullah Saw. kelak pada hari kiamat. Sebuah rasa gembira karena telah lahir seorang anak manusia yang semoga kelak menjadi insan yang akan menegakkan kalimat tauhid dan membela agama-Nya.

Keenam, aqiqah memperkuat tali silaturahmi di antara kaum Muslimin atau anggota masyarakat. Di mana dengan adanya aqiqah, orang-orang yang diberi jamuan akan merasa senang dan ini bisa menambah eratnya persaudaraan. Karena, di samping berdimensi spiritual, aqiqah juga merupakan ibadah dari umat Islam yang bersifat sosial.

Demikian enam hikmah aqiqah menurut Syaikh Abdullah Nashih Ulwan dan semoga bermanfaat bagi kita bersama.

AQIQOH MANDIRI , BERIBADAH SEKALIGUS BERSEDEKAH
HUB : 0822 2766 9985 / 0878 5413 7005  / PIN BB 7FF86AD9